Jangjawokan Mantra Sastra Sunda Kuno

Dijual Buku Antik dan Langka



debus
Debus lebih dikenal sebagai kesenian asli 
masyarakat Banten berkembang sejak abad ke-18


Jangjawokan Mantra Sastra Sunda Kuno
Jangjawokan didalam koridor sastra puisi arkais didefinisikan, sebagai : permintaan atau perintah agar keinginan (orang yang menggunakan jangjawokan) dilaksanakan oleh nu gaib dalam pengertian makhluk gaib. Sebatas ini mudah dipahami, yakni para pengguna jangjawokan menggunakan makhluk gaib untuk mencapai keinginannya. Namun tidak dapat dipungkiri jika ditemukan pula jangjawokan yang menggunakan bacaan sebagaimana lajimnya di gunakan oleh urang sunda yang beragama islam.

Pemilahan jangjawokan dengan do’a dimungkinkan terjadi jika jangjawokan dikatagorikan sebagai bagian dari puisi sunda (arkais), serta dibahas dengan menggunakan Indikator dalam kacamata sastra. Namun boleh saja jika jangjawokan dilihat dari kacamata lainnya. Karena ketika masyarakat Sunda Tradisional mengucapkan jangjawokan tentunya tidak ditujukan untuk membaca puisi, melainkan memohonkan sesuatu.


Jangjawokan diyakini memiliki kekuatan magis. Kemungkinan kekuatan dari kandungan magis yang dirasakan nyaman menyebabkan jangjawokan ditularkan secara turun temurun. Jangjawokan tidak mungkin bisa bertahan dan terkabarkan hingga sekarang jika tidak dirasakan manfaatnya dan diyakini kekuatannya. Yang jelas ada harmoni manusia dengan alamnya ketika jangjawokan itu dibacakan.


Peran jangjawokan bisa diasumsikan keberadaanya sebelum kemudian diserahkan kepada para penyembuh modern, seperti dokter ; psikolog ; atau profesi apapun yang terkait dengan masalah penyembuhan fisik dan psikis. Jangjawokan digunakan pula dalam keseharian, sebagai bagian dari tertib hidup, seperti pada kegiatan sebelum buang air dan kegiatan lainnya. Jangjawokan dalam jenis ini bisa ditemukan dalam Jampe Kahampangan (Jampi hendak buang air kecil) ; Jampe Kabeuratan (hendak buang air besar) ; Jampe Neda (Jampi sebelum makan) ; Jampe Masamon (Jampi bertamu) dll.


Konon kabar, kekuatan dari magisnya terletak pada kebersihan hati sipelafalnya dan kesungguhan bagi para penggunannya. Namun saya tidak bisa terlalu jauh masuk untuk mengetahui pengaruhnya, biarlah merupakan bagian dari para akhlinya.


Wahyu Wibisana, mengkatagorikan ajimantra (Jangjawokan) yang merupakan sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda kuno. Sama halnya dengan yang dimuat dalam kamus bahasa Indonesia, yakni susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib. Dikatakan "pernah digunakan" dan "pernah muncul", karena memang saat ini kebanyakan orang sunda sudah banyak yang tidak menggunakannya, selain sudah jarang diketahui, juga dimungkinkan karena tidak dikenal didalam ageman barunya. Hanya saja, sebagai karya sastra (yang umumnya berbentuk lisan) tetap merupakan genre tersendiri dalam sastra Sunda seperti juga pada sastra daerah lainnya di Nusantara.


Dari pernyataan diatas, saya yakin masih ada masyarakat Sunda yang menggunakan jangjawokan. Kitapun lantas tidak bisa menafsirkan masyarakat pengguna jangjawokan sebagai masyarakat ketinggalan jaman, karena realitasnya masih nyaman untuk digunakan. Dengan dimasukannya ajimantra sebagai bagian dari puisi maka masih bisa ditelusuri dan terkabarkan beritanya kepada generasi berikutnya. Setidak-tidaknya katagorisasi ini dapat menyelamatkan jangjawokan sebagai asset budaya bangsa, sekalipun hanya dinikmati sebagai karya seni, tidak pada unsur magisnya.


Jangjawokan menurut Wahyu Wibisana memiliki ciri-ciri khusus. Ciri-ciri yang dimaksudkan Wahyu tentunya dilihat dari kata gori Jangjawokan sebagai bagian dari puisi arkais sunda. Jadi wajar jika ada tekanan tujuan dari materi jangjawokan ; gaya sastra dan gaya bahasa ; rima-rima ; dan kelahirannya dalam pemahaman tentang sastra sunda. Adapun ciri-ciri Jangjawokan, sebagai berikut : menyebutkan nama kuasa imajiner, seperti : Pohaci Sanghiyang Asri, Batara, Batari dll.


Dalam kalimat atau frase yang menyatakan si pengucap jang jawokan berada pada posisi yang lebih kuat, otomatis berhadapan dengan pihak yang lemah berhubungan dengan konsvensi puisi, merupakan kelanjutan dari gaya Sastra Sunda Buhun dan cerita Pantun, yakni ada nya desakan atau perintah, disamping himbauan, tegasnya bersifat imperative dan persuasif.


Masih berhubungan dengan konvensi puisi, adanya rima-rima dalam jangjawokan. Rima-rima dimaksud memiliki fungsi estetis ; membangun irama ; fungsi magis ; fungsi membuat ingatan orang yang mengucapkan. adanya lintas kode bahasa pada ajimantra yang hidup di Priangan dan Baduy. Bahasa jangjawokan tersebut diserap seutuhnya atau disesuaikan dengan lidah pengucapnya. Terkesan sebagai sastra arkais yang pernah muncul kemudian setelah sastra sunda.

Jual buku sunda lama disini 


Contoh Jangjawokan saat akan membuka huma/sawah tadah hudang :


Bismillaahirrohmaanirohiim ....
Putra Nabi Soleman kang dadi kaceseh nu aya di awang-awang.


Pangeran Yadatullah, punika putra nabi Soleman kang dadi-oray Raden Gandatullah, punika putra Nabi Soleman kang dadi macan Raden Mangunjaya, punika putra Nabi Soleman nu aya di kuli bumi raden Gandatullah, punika Putra Nabi Soleman nu aya di dasar Murdatullah, punika Raden Nabi Soleman nu aya di kulit banyu Raden rekamaya, punika putra Raden Nabi Soleman nu aya di dasar banyu Raden mayareka. roh kayu, roh bumi, manusa asih ka dewa, Dewa asih ka manusa istan! istan.


Asihan aing, asihan Nabi Soleman, kula nyuhunkeun idin, Nyuhunkeun rido, salametna, rejekina, kula rek nyieun tegal kahirupan dina leuweung ieu .....



Dijual Buku Antik dan Langka Sastra Sejarah Dll
Dijual Majalah Cetakan Lama
Dijual Buku Pelajaran Lawas

Postingan terkait

Saya JAY SETIAWAN
tinggal di kota Bandung. Selain iseng menulis di blog, juga menjual buku-buku bekas cetakan lama. Jika sahabat tertarik untuk memiliki buku-buku yang saya tawarkan, silahkan hubungi Call SMS WA : 0821 3029 2632. Trima kasih atas kunjungan dan attensinya.

Jangjawokan Mantra Sastra Sunda Kuno

Posting Komentar