Gunung teu beunang dilebur
Lebak teu beunang diruksak
Larangan teu meunang dirempak
Buyut teu meunang dirobah
Lojor teu meunang dipotong
Pondok teu meunang disambung
Nu lain kudu dilainkeun(Pikukuh masyarakat Kanékés)
Lebak teu beunang diruksak
Larangan teu meunang dirempak
Buyut teu meunang dirobah
Lojor teu meunang dipotong
Pondok teu meunang disambung
Nu lain kudu dilainkeun(Pikukuh masyarakat Kanékés)
Perkampungan tempo dulu di kabupaten Garut Jawa Barat |
Warugan Lemah
Jika orang Cina memiliki Feng-Shui, orang Sunda memiliki Warugan Lemah (WL). Pengetahuan tentang pola pemukiman (kampung, wilayah kota, dan umbul) masyarakat Sunda pada masa lalu ini, tertera dalam tiga lempir daun lontar berukuran 28,5 x 2,8 cm., yang mengandung 4 baris tulisan tiap lempirnya. Naskah Waruga Lemah. kini tersimpan di Perpustakaan Nasional RI (PNRI) dengan nomor koleksi L 622 Peti 88.
Pemberian judul warugan lemah didasarkan pada kalimat pertama yang terdapat dalam teks, yang berbunyi ini warugan lemah. Warugan merupakan kata bentukan dari kata waruga bentuk, yang dalam bahasa Jawa kuna berarti jenis bangunan (balai, paviliun) (Zoetmulder, 2006: 1395), sedangkan dalam bahasa Sunda Modern berarti ‘badan, tubuh’ dan akhiran –an yang membentuk kata benda, seperti yang terdapat dalam kata Sunda modern ‘caritaan, cariosan’. Sementara lemah berarti ‘tanah’. Dengan demikian, warugan lemah dapat berarti ‘bentuk tanah’. Keseluruhan isi teks kiranya sesuai dengan judul, yang memaparkan pola tanah dan wilayah pemukiman, pengaruh baik dan buruknya, berikut sarana dan mantra-mantra untuk mensucikannya.
Naskah WL berasal dari kelompok ‘kropak Bandung’, yang diperoleh dari Bupati Bandung Wiranatakusumah IV (1846-1874) kepada Masyarakat Batavia Pecinta Seni dan Ilmu Pengetahuan (BGKW) sekitar paruh kedua abad ke-19 (Krom, 1914: 41; NBG XIII, 1875). Dalam Laporan Kepurbakalaan tersebut tercatat bahwa kropak no. 620 sampai no. 626 dan kropak no. 633 sampai no. 642 adalah pemberian bupati Bandung.
Dalam naskah kuno Waruga Lemah, tercatat ada 18 pola pemukiman, dan masing-masing memiliki istilah berikut karakteristiknya yang khas. Ada yang dianggap berpengaruh baik, dan ada yang dianggap sebaliknya. Gambaran pola pemukiman berdasarkan topografi tanah dan wilayah sebagaimana yang tertuang dalam teks adalah sebagai berikut:
1. Talaga Hangsa:
Topografi tanah condong ke kiri. Topografi jenis ini tergolong baik, karena mendatangkan kasih sayang orang lain.
2. Banyu Metu :
Topografi tanah condong ke belakang. Termasuk topografi tanah yang kurang baik, karena menyebabkan kanénéh ‘kesayangan, apa yang disayangi’ tidak akan menjadi.
3. Purba Tapa :
Topografi tanah condong ke depan. Termasuk topografi yang kurang baik, karena senantiasa kehilangan simpati (rasa suka) orang lain.
4. Ambek Pataka :
Topografi tanah condong ke kanan. Termasuk topografi yang kurang baik karena menyebabkan orang lain menyakiti hati.
5. Tanah yang ngalingga manik :
Secara harfiah, ngalingga manik berarti ‘membentuk puncak permata’. Mungkin dapat diartikan topografi tanah yang membentuk puncak dengan lahan pemukiman berada di puncaknya. Termasuk topografi tanah yang baik, karena menjadikan penduduknya diperhatikan oleh dewata. Pada tanah seperti inilah Bujangga Manik (BM), seorang peziarah Sunda abad 16, mengakhiri kehidupannya. Dalam teks BM (baris 1404-1406), rahib kelana ini berharap menemukan tanah kabuyutan, yaitu tanah yang menyerupai puncak permata (ngalingga manik).
6. Singha Purusa :
Topografi tanah (lahan) memotong pasir, berada di antara puncak dan kaki bukit. Termasuk topografi tanah yang baik, karena mendatangkan kemenangan dalam berperang.
7. Sri Madayung :
Topografi tanah berada di antara dua aliran sungai, yaitu sungai kecil di sebelah kiri dan sungai besar di sebelah kanan. Termasuk topografi tanah yang kurang baik, karena menyebabkan dimadu oleh perempuan.
8. Sumara Dadaya :
Topografi tanah datar. Mungkin sama dengan istilah topografi Sunda sekarang galudra ngupuk (Ensiklopedi Sunda, 2000:227). Termasuk topografi lahan yang cukup baik, karena menyebabkan rama, sebagai salah satu dari trias penguasa masyarakat Sunda kuna selain rama dan resi, senantiasa datang berkunjung.
9. Luak Maturun :
Topografi tanah berceruk karena di tengah wilayah terdapat lembah, mungkin menyerupai luak yang turun dari pohonnya. Termasuk topografi tanah yang tidak baik, karena menjadikan penduduknya banyak mendapat penderitaan. Dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian, istilah luak maturun termasuk salah satu formasi perang (SSKK: XVIII).
10. Wilayah melipat :
Tidak disebutkan istilah untuk topografi ini. Termasuk topografi wilayah pemukiman yang kurang baik karena menyebabkan berkurangnya kekayaan.
11.Tunggang Laya:Topografi wilayah pemukiman menghadap laut. Termasuk topografi yang kurang baik, karena menyebabkan penduduknya mati tersambar petir.
12. Mrega Hideng :
Wilayah bekas kuburan. Termasuk wilayah pemukiman yang kurang baik, karena mengakibatkan wilayahnya kurang memiliki wibawa.
13. Jagal Bahu :
Tanah menganga (terpisah) sehingga terdapat celah yang memisahkan wilayah pemukiman. Termasuk topografi tanah yang kurang baik, karena mengakibatkan wilayahnya kurang memiliki wibawa.
14.Talaga Kahudanan :
Wilayah pemukiman membelah sungai. Termasuk topografi pemukiman yang kurang baik, karena penduduknya dapat mati karena senjata orang lain dalam peperangan.
15. Wilayah membelakangi bukit atau gunung :
Tidak terdapat istilah untuk topografi ini. Termasuk topografi wilayah yang kurang baik, karena akan merusak hubungan keluarga.
16. Si Bareubeu :
Topografi wilayah berada di bawah aliran sungai (katunjang ku cai). Termasuk topografi lahan yang kurang baik, karena akan dihukum oleh dewata.
17. Kampung dikelilingi oleh rumah :
Termasuk topografi wilayah pemukiman yang kurang baik karena penduduknya akan menjadi rakyat jelata (budak).
18. Bekas tempat kotor (picarian) dikelilingi oleh rumah :
Tidak terdapat istilah khusus di dalam teks untuk jenis topografi ini. Termasuk topografi wilayah pemukiman yang kurang baik, karena akan mendatangkan kesusahan.
Pembagian pola pemukiman :
Secara umum, ada dua jenis pola pembagian topografi lahan yang terdapat dalam teks WL. Hal tersebut berdasarkan digunakannya dua istilah dalam teks yang pengertiannya cukup berbeda, yaitu penggunaan kata lemah ‘lahan, tanah’ dan dayeuh ‘wilayah, pemukiman’ atau lembur ‘wilayah kampung’. Artinya, pembagian klasifikasi pola pemukiman, dapat berdasarkan kontur tanah atau berdasarkan keadaan wilayah pemukiman. Pembagian keduanya dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini.
Pembagian berdasarkan kontur tanah
1. Talaga Hangsa (tanah condong ke kiri)
2. Banyu Metu (tanah condong ke belakang)
3. Purba Tapa (tanah condong ke depan)
4. Ambek Pataka (tanah condong ke kanan)
5. Ngalingga Manik (tanah membentuk puncak)
6. Singha Purusa (tanah memotong bukit)
7. Sumara Dadaya (tanah datar)
8. Jagal Bahu (dua lahan terpisah)
9. Sri Madayung (tanah berada di antara dua aliran sungai, yaitu sungai kecil dan besar)
2. Banyu Metu (tanah condong ke belakang)
3. Purba Tapa (tanah condong ke depan)
4. Ambek Pataka (tanah condong ke kanan)
5. Ngalingga Manik (tanah membentuk puncak)
6. Singha Purusa (tanah memotong bukit)
7. Sumara Dadaya (tanah datar)
8. Jagal Bahu (dua lahan terpisah)
9. Sri Madayung (tanah berada di antara dua aliran sungai, yaitu sungai kecil dan besar)
Pembagian berdasarkan keadaan wilayah
1. Luak Maturun (bagian tengah wilayah terdapat lembah)
2. Wilayah yang melipat
3. Tunggang Laya (wilayah pemukiman menghadap laut)
4. Mrega Hideng (wilayah pemukiman bekas kuburan)
5. Talaga Kahudanan (wilayah pemukiman terbelah sungai)
6. Wilayah membelakangi bukit
7. Si Bareubeu (wilayah berada di bawah aliran sungai)
8. Kampung dikelilingi rumah
9. Bekas tempat kotor dikelilingi rumah
2. Wilayah yang melipat
3. Tunggang Laya (wilayah pemukiman menghadap laut)
4. Mrega Hideng (wilayah pemukiman bekas kuburan)
5. Talaga Kahudanan (wilayah pemukiman terbelah sungai)
6. Wilayah membelakangi bukit
7. Si Bareubeu (wilayah berada di bawah aliran sungai)
8. Kampung dikelilingi rumah
9. Bekas tempat kotor dikelilingi rumah
Dari ke-18 jenis topografi lahan pemukiman di atas, dapat diketahui bahwa hanya empat jenis di antaranya yang dianggap membawa dampak baik, yaitu talaga hangsa (tanah yang condong ke kiri), ngalingga manik (tanah membentuk bukit dengan pemukiman di atasnya), singha purusa (tanah memotong bukit), dan sumara dadaya (tanah datar). Sementara 14 jenis lainnya, tergolong topografi lahan atau wilayah yang kurang baik. Tetapi tidak serta merta topografi lahan yang kurang baik ini tidak layak huni, karena ada sarana dan mantra-mantra tulak bala untuk mensucikan lahan tersebut dari pengaruh-pengaruh buruk yang menyertainya. Bahkan lahan yang membawa dampak baik pun perlu disucikan. Oleh: Aditia Gunawan. Dijual Buku Antik dan Langka Sastra Sejarah Dll
Dijual Majalah Cetakan Lama
Dijual Buku Pelajaran Lawas
Saya JAY SETIAWAN
tinggal di kota Bandung. Selain iseng menulis di blog, juga menjual buku-buku bekas cetakan lama. Jika sahabat tertarik untuk memiliki buku-buku yang saya tawarkan, silahkan hubungi Call SMS WA : 0821 3029 2632. Trima kasih atas kunjungan dan attensinya.
tinggal di kota Bandung. Selain iseng menulis di blog, juga menjual buku-buku bekas cetakan lama. Jika sahabat tertarik untuk memiliki buku-buku yang saya tawarkan, silahkan hubungi Call SMS WA : 0821 3029 2632. Trima kasih atas kunjungan dan attensinya.
Posting Komentar