Status Sosial Perempuan di Jawa Barat Jaman Dulu
Gambaran tentang wanita Sunda pada abad ke -19, baik eksplisit maupun implisit dapat dipahami melalui historiografi tradisional seperti wawacan, babad, sajarah, serat, dan carita meskipun historiografi tradisional umumnya bersifat androgynous (laki-laki sebagai tokoh utama)." Secara umum dapat dikatakan bahwa status sosial wanita Sunda sangat rendah.
Hal ini ditunjukkan dengan beberapa hal : wanita adalah warga negara kelas dua yang dianggap sama dengan benda mail yang tidak memiliki keinginan, buta huruf (tidak bersekolah), harus tinggal di rumah menunggu jodoh ketika umur mencapai 11-12 tahun, menjadi obyek poligami (bahkan tinggal serumah dengan istri-istri lain), dan bisa diceraikan secara sewenang-wenang bila sudah tidak dikehendaki.
Status sosial yang rendah itu digambarkan misalnya dalam historiografi tradisional yang berjudul Sajarah Sukapura. Naskah yang ditulis pada tahun 1886 oleh Raden Kanduruan Kertinagara (1835-1915) alias Haji Abdullah Soleh bercerita tentang tiga orang anak buah Dipati Ukur, penguasa lokal dari daerah Ukur, yang bernama Wirawangsa, Samahita, dan Astramanggala.
Ketiga orang ini dianugerahi kebebasan. dari tugas dan kewajiban oleh Sultan Mataram karena mereka dinilai berjasa dalam penangkapan Dipati Ukur yang dianggap berkhianat kepada Sultan Mataram. Akan tetapi, ketiganya merasa tidak puas atas anugerah itu. Lalu ketiga orang itu sepakat untuk mempersembahkan tiga orang gadis cantik kepada Sultan Mataram.
Ternyata sultan merasa senang atas persembahan itu dan sebagai imbalan atas kesetiaan mereka, ketiganya kemudian diangkat menjadi "mantri agung" (setingkat bupati). Jelaslah bahwa di sini wanita dianggap sama dengan benda yang bisa dipersembahkan sebagai upeti.
Demikian juga bila mereka menginginkan seorang wanita yang dijumpainya dalam perjalanan itu, cukup baginya mengatakan, "Anak gadis siapa itu". Maka sejak saat itu si gadis sudah bisa dipastikan akan menjadi miliknya. Hal ini mencerminkan betapa besar kekuasaan kaum menak dahulu, sekaligus mencerminkan betapa rendahnya kedudukan wanita yang dianggap sama dengan kuda atau ternak lainnya.
Ada kisah tragis berkaitan dengan kebiasaan nyanggrah ini Bupati Cianjur, yang kemudian dikenal sebagai Dalem Dicondre, mengalami nasib buruk karena ia menginginkan seorang gadis desa yang cantik tapi sudah punya tunangan.
Tunangan si gadis, tidak mau menerima perlakuan Dalemnya, dan ia nekad membunuh Sang Dalem dengan menggunakan condre (sejenis badik) hingga tewas. Akhirnya bupati tersebut dikenal sebagai Dalem Dicondre. Kisah ini bisa dibaca dalam Sajarah Cikundul. Dalam Wawacan Carios Munada dikisahkan tentang salah seorang Bupati Bandung pada abad ke-19 yang memiliki begitu banyak selir.
Konon, jumlahnya ratusan. Asisten Residen Bandung waktu itu, meminta kepada bupati agar salah seorang selirnya dipinjamkan untuk tinggal bersamanya. Tanpa susah-payah, Sang Bupati meminjamkan salah seorang selirnya. Ketika si selir itu hamil, mudah saja Sang Asisten Residen menyerahkan kembali si selir ke kabupaten.
Tidak pula menjadi masalah ketika si anak lahir dengan wajah indo, ia dianggap anak oleh bupati tersebut. Dalam kasus in sangat jelas betapa seorang wanita diserahkan ke sana kemari bagai mainan belaka. Kisah semacam ini juga bisa dibaca dalam Wawacan Sajarah Galuh.
Dalam historiografi tradisional, yang salinannya diperkirakan dibuat antara tahun 1889-1894 ini, dikisahkan tentang Nyi Tanduran Gagang, seorang putri keturunan Pajajaran yang mengalami nasib tragis. Mula-mula ia dinikahi Sultan Cirebon, tak lama kemudian diceraikan karena bagian badan sang putri mengeluarkan api.
Tak lama kemudian ia dinikahi Sultan Banten, tetapi perkawinan berakhir segera karena alasan yang sama. Akhirnya sang putri dinikahi Sultan Mataram. Pernikahan pun berakhir tidak lama kemudian. Ketiga Sultan sepakat menjual Nyi Tanduran Gagang kepada pemerintah Inggris (pada bagian lain kepada pemerintah Belanda).
Akhirnya pemerintah asing, itu bersedia menukar Nyi Tanduran Gagang dengan tiga pucuk meriam. Tiap sultan mendapat sepucuk meriam. Meskipun kisah ini memiliki latar belakang politis, secara tersurat wanita digambarkan sebagai piala bergilir yang dengan mudah dipindahtangankan.
Di samping wanita yang mengalami nasib buruk, dilecehkan, tentu ada juga kekecualian. Misalnya saja di Sumedang pada abad ke-18 pernah ada seorang wanita yang menjadi bupati dan dikenal sebagai Dalem Istri Raja Ningrat.
Mengapa kedudukan wanita seperti digambarkan dalam historiografi tradisional itu begitu rendah, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat? Apakah tidak ada pilihan bagi mereka? Tidak mudah menjawabnya karena keadaan ini merupakan masalah struktural.
Salah satu contoh, orang tua wanita dari kalangan rakyat biasa (somah), sangat menginginkan anak gadisnya dijadikan selir oleh kaum bangsawan (menak) (tidak peduli apakah dinikahi atau tidak nantinya) sebab keturunannya nanti bisa menjadi bangsawan pula sehingga status sosial mereka meningkat. Dalam sejarah Sunda, kaum bangsawan pria, terutama para bupati, biasanya beristri dan berselir banyak.
Para istri ataupun para selir, selain berasal dari kalangan bangsawan, banyak juga yang berasal dari kalangan santana, (kelas menengah), bahkan dari kalangan rakyat biasa. Garwa padmi (istri yang kedudukannya setara dengan permaisuri) seorang bupati biasanya berasal dari kalangan bangsawan tinggi (umumnya putri bupati), sedangkan istri-istri lainnya bisa dari kalangan bukan bangsawan tinggi, sedangkan selir banyak yang berasal dari kalangan rakyat biasa.
Misalnya saja, Bupati Sumedang yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sugih, memiliki empat orang istri (tiga orang di antaranya putri bupati) dan 27 selir; hanya seorang selir saja yang berasal dari kalangan bangsawan, sisanya berasal dari kalangan yang berstatus sosial lebih rendah.
Gambaran yang jelas mengenai kedudukan wanita somah, sulit ditemukan dalam karya-karya historiografi tradisional. Mengapa? Karena sejarah tradisional itu bersifat istana-sentris atau kabupaten-sentris yang elitis. Jadi, yang dibicarakan hanyalah seputar kaum elite, sedangkan rakyat kecil jarang dibicarakan, bahkan sebagai figuran sekalipun.*Sumber : Sejarah Tatar Sunda thn 2003 Oleh: Nina H. Lubis dkk
Dijual Buku Antik dan Langka Sastra Sejarah Dll Hal ini ditunjukkan dengan beberapa hal : wanita adalah warga negara kelas dua yang dianggap sama dengan benda mail yang tidak memiliki keinginan, buta huruf (tidak bersekolah), harus tinggal di rumah menunggu jodoh ketika umur mencapai 11-12 tahun, menjadi obyek poligami (bahkan tinggal serumah dengan istri-istri lain), dan bisa diceraikan secara sewenang-wenang bila sudah tidak dikehendaki.
Status sosial yang rendah itu digambarkan misalnya dalam historiografi tradisional yang berjudul Sajarah Sukapura. Naskah yang ditulis pada tahun 1886 oleh Raden Kanduruan Kertinagara (1835-1915) alias Haji Abdullah Soleh bercerita tentang tiga orang anak buah Dipati Ukur, penguasa lokal dari daerah Ukur, yang bernama Wirawangsa, Samahita, dan Astramanggala.
Ketiga orang ini dianugerahi kebebasan. dari tugas dan kewajiban oleh Sultan Mataram karena mereka dinilai berjasa dalam penangkapan Dipati Ukur yang dianggap berkhianat kepada Sultan Mataram. Akan tetapi, ketiganya merasa tidak puas atas anugerah itu. Lalu ketiga orang itu sepakat untuk mempersembahkan tiga orang gadis cantik kepada Sultan Mataram.
Ternyata sultan merasa senang atas persembahan itu dan sebagai imbalan atas kesetiaan mereka, ketiganya kemudian diangkat menjadi "mantri agung" (setingkat bupati). Jelaslah bahwa di sini wanita dianggap sama dengan benda yang bisa dipersembahkan sebagai upeti.
Gadis pemetik teh di perkebunan teh Cikajang Garut baheula |
Kaum menak (pria) hingga perempatan ketiga abad ke -19, mempunyai suatu tradisi yang disebut nyanggrah. Bila laki-laki bangsawan ini menginginkan seekor kuda yang bagus, ketika mengadakan perjalanan ke desa (turne), mereka cukup menggunting bulu suni kuda itu dan itu artinya kuda itu sudah menjadi miliknya.
Demikian juga bila mereka menginginkan seorang wanita yang dijumpainya dalam perjalanan itu, cukup baginya mengatakan, "Anak gadis siapa itu". Maka sejak saat itu si gadis sudah bisa dipastikan akan menjadi miliknya. Hal ini mencerminkan betapa besar kekuasaan kaum menak dahulu, sekaligus mencerminkan betapa rendahnya kedudukan wanita yang dianggap sama dengan kuda atau ternak lainnya.
Ada kisah tragis berkaitan dengan kebiasaan nyanggrah ini Bupati Cianjur, yang kemudian dikenal sebagai Dalem Dicondre, mengalami nasib buruk karena ia menginginkan seorang gadis desa yang cantik tapi sudah punya tunangan.
Tunangan si gadis, tidak mau menerima perlakuan Dalemnya, dan ia nekad membunuh Sang Dalem dengan menggunakan condre (sejenis badik) hingga tewas. Akhirnya bupati tersebut dikenal sebagai Dalem Dicondre. Kisah ini bisa dibaca dalam Sajarah Cikundul. Dalam Wawacan Carios Munada dikisahkan tentang salah seorang Bupati Bandung pada abad ke-19 yang memiliki begitu banyak selir.
Konon, jumlahnya ratusan. Asisten Residen Bandung waktu itu, meminta kepada bupati agar salah seorang selirnya dipinjamkan untuk tinggal bersamanya. Tanpa susah-payah, Sang Bupati meminjamkan salah seorang selirnya. Ketika si selir itu hamil, mudah saja Sang Asisten Residen menyerahkan kembali si selir ke kabupaten.
Tidak pula menjadi masalah ketika si anak lahir dengan wajah indo, ia dianggap anak oleh bupati tersebut. Dalam kasus in sangat jelas betapa seorang wanita diserahkan ke sana kemari bagai mainan belaka. Kisah semacam ini juga bisa dibaca dalam Wawacan Sajarah Galuh.
Dalam historiografi tradisional, yang salinannya diperkirakan dibuat antara tahun 1889-1894 ini, dikisahkan tentang Nyi Tanduran Gagang, seorang putri keturunan Pajajaran yang mengalami nasib tragis. Mula-mula ia dinikahi Sultan Cirebon, tak lama kemudian diceraikan karena bagian badan sang putri mengeluarkan api.
Tak lama kemudian ia dinikahi Sultan Banten, tetapi perkawinan berakhir segera karena alasan yang sama. Akhirnya sang putri dinikahi Sultan Mataram. Pernikahan pun berakhir tidak lama kemudian. Ketiga Sultan sepakat menjual Nyi Tanduran Gagang kepada pemerintah Inggris (pada bagian lain kepada pemerintah Belanda).
Akhirnya pemerintah asing, itu bersedia menukar Nyi Tanduran Gagang dengan tiga pucuk meriam. Tiap sultan mendapat sepucuk meriam. Meskipun kisah ini memiliki latar belakang politis, secara tersurat wanita digambarkan sebagai piala bergilir yang dengan mudah dipindahtangankan.
beramai-ramai menumbuk padi di Bogor jaman dulu |
Di samping wanita yang mengalami nasib buruk, dilecehkan, tentu ada juga kekecualian. Misalnya saja di Sumedang pada abad ke-18 pernah ada seorang wanita yang menjadi bupati dan dikenal sebagai Dalem Istri Raja Ningrat.
Mengapa kedudukan wanita seperti digambarkan dalam historiografi tradisional itu begitu rendah, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat? Apakah tidak ada pilihan bagi mereka? Tidak mudah menjawabnya karena keadaan ini merupakan masalah struktural.
Salah satu contoh, orang tua wanita dari kalangan rakyat biasa (somah), sangat menginginkan anak gadisnya dijadikan selir oleh kaum bangsawan (menak) (tidak peduli apakah dinikahi atau tidak nantinya) sebab keturunannya nanti bisa menjadi bangsawan pula sehingga status sosial mereka meningkat. Dalam sejarah Sunda, kaum bangsawan pria, terutama para bupati, biasanya beristri dan berselir banyak.
Para istri ataupun para selir, selain berasal dari kalangan bangsawan, banyak juga yang berasal dari kalangan santana, (kelas menengah), bahkan dari kalangan rakyat biasa. Garwa padmi (istri yang kedudukannya setara dengan permaisuri) seorang bupati biasanya berasal dari kalangan bangsawan tinggi (umumnya putri bupati), sedangkan istri-istri lainnya bisa dari kalangan bukan bangsawan tinggi, sedangkan selir banyak yang berasal dari kalangan rakyat biasa.
Misalnya saja, Bupati Sumedang yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sugih, memiliki empat orang istri (tiga orang di antaranya putri bupati) dan 27 selir; hanya seorang selir saja yang berasal dari kalangan bangsawan, sisanya berasal dari kalangan yang berstatus sosial lebih rendah.
Gambaran yang jelas mengenai kedudukan wanita somah, sulit ditemukan dalam karya-karya historiografi tradisional. Mengapa? Karena sejarah tradisional itu bersifat istana-sentris atau kabupaten-sentris yang elitis. Jadi, yang dibicarakan hanyalah seputar kaum elite, sedangkan rakyat kecil jarang dibicarakan, bahkan sebagai figuran sekalipun.*Sumber : Sejarah Tatar Sunda thn 2003 Oleh: Nina H. Lubis dkk
Dijual Majalah Cetakan Lama
Dijual Buku Pelajaran Lawas
Saya JAY SETIAWAN
tinggal di kota Bandung. Selain iseng menulis di blog, juga menjual buku-buku bekas cetakan lama. Jika sahabat tertarik untuk memiliki buku-buku yang saya tawarkan, silahkan hubungi Call SMS WA : 0821 3029 2632. Trima kasih atas kunjungan dan attensinya.
tinggal di kota Bandung. Selain iseng menulis di blog, juga menjual buku-buku bekas cetakan lama. Jika sahabat tertarik untuk memiliki buku-buku yang saya tawarkan, silahkan hubungi Call SMS WA : 0821 3029 2632. Trima kasih atas kunjungan dan attensinya.
Posting Komentar