Marak Lauk atau Nyirib Budaya Sunda yang Dilupakan

Dijual Buku Antik dan Langka

Nyirib Budaya Sunda yang Dilupakan
Tiga orang serdadu Belanda menyaksikan kegiatan nyirib sekitar 1948.
Foto: dokumen keluarga Flif Peeters

AKI Ucup masih ingat rutinitas mengasyikan itu. Selalu tiap tahun, bertempat di Sungai Cimandiri, Sukabumi, dirinya bersama-sama orang-orang sekampung melaksanakan nyirib (sering juga disebut marak). Itu nama sejenis tradisi orang Pasundan untuk kegiatan menangkap ikan secara bergotong royong.

“Dari kecil hingga dewasa, nyirib itu adalah kegiatan yang sering kami tunggu-tunggu karena selain untuk hiburan, kami pun bisa bertukar kabar tentang kondisi masing-masing dengan sesama penghuni kampung,” ujar lelaki berusia 91 tahun itu.

Menurut Aan Merdeka Permana, tradisi nyirib atau marak sejatinya sudah ada sejak era kerajaan-kerajaan Sunda berjaya. Selain untuk pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari, nyirib juga dilaksanakan sebagai bentuk upaya penguatan sosial dan solidaritas di kalangan masyarakat Sunda.

“Saya pikir, aktivitas itu sesungguhnya lebih kental nuansa kegotongroyongannya,” ujar sejarawan cum sastrawan Sunda itu kepada Historia.

Aktivitas nyirib biasanya dilakukan pada setiap tutup tahun. Kala agama Islam menjadi anutan sebagian besar orang Sunda, kegiatan ini dijalankan kala menjelang datangnya bulan puasa. Pelaksanaan kegiatan ini pun termasuk merata. Artinya hampir sebagian besar masyarakat Sunda melakukannya, terutama mereka yang lingkungannya dekat dengan aliran sungai besar dan sedang.

Persiapan nyirib, umumnya dilakukan sejak pagi hari buta. Dimulai dengan ritual-ritual doa, para lelaki lantas mengondisikan leuwi (bagian terdalam sungai yang banyak ikannya). Caranya adalah dengan mengepung wilayah leuwi dengan batu-batu dan dedaunan serta mengalirkan air dari hulu ke hilir terjauh dengan metode dipekong (membuat beberapa saluran sungai kecil juga dengan menggunakan batu, tanah liat dan dedaunan).

Setelah pembuatan bendungan kelar dan arus air dari hulu berhasil dialihkan ke hilir terjauh, air yang tersisa di dalam bendungan lantas ditawu (dikuras dengan menggunakan wadah sejenis ember) dengan melibatkan ratusan manusia. Begitu ribuan galon air sudah dikeluarkan dan keadaan leuwi sudah dianggap aman, maka pimpinan kegiatan (biasanya kepala dusun atau kepala desa) menyilakan orang-orang (termasuk anak-anak dan kaum perempuan) untuk terjun mencari ikan dengan berbagai cara.

Agus Thosin, berusia 65 tahun, termasuk orang yang masih mengalami masa-masa nyirib di wilayah Cianjur. Ia melukiskan betapa orang-orang kampungnya bersuka cita saat melaksanakan kegiatan itu, terutama anak-anak kecil. Dengan menggunakan berbagai jenis perangkat tradisonal untuk menangkap ikan, seperti sirib, lambit, keucrik, ayakan dan bubu) dalam tawa dan canda mereka berlomba-lomba menangkap ikan yang sudah tidak bisa lagi lari kemana-mana.

Hasil dari kegiatan nyirib ini biasanya memuaskan. Berbagai jenis ikan yang saat ini mungkin jarang ditemukan lagi, seperti senggal, tawes, udang, mujaer, gengehek, gabus, lele, kancra dan nama-nama ikan jadul lainnya berhasil mereka ambil dari sungai. “Jumlahnya banyak sekali, sampai berkwintal-kwintal,” ujar Agus.

Alih-alih dimiliki sendiri, ikan-ikan itu lalu ditampung dalam suatu wadah yang sangat besar dan kemudian dibagi secara merata kepada semua orang kampung tak terkecuali para orang tua yang sudah tak mampu lagi terjun dalam aksi itu. Biasanya, ikan-ikan itu dibungkus dengan daun pisang atau daun jati.

Sayangnya, tradisi sosial tersebut hanya bisa disaksikan sampai akhir sekitar tahun 1970-an. Bahkan Ucup dan Agus sangat yakin saat ini nyirib sudah tinggal nama semata. Seiring merajalelanya pabrik-pabrik hingga menjadikan air sungai tercemar dan “ditumbuhinya” bantaran-bantaran sungai oleh hunian manusia hingga menjadi sempit dan dangkal, tradisi nyirib pun bergerak ke pintu kematiannya.

“Mau di mana lagi nyirib dilakukan? Paling-paling kalau mau nyirib sekarang mah ke pasar saja,” ujar Ucup sambil tertawa pahit.

Kini, menjelang tutup tahun atau datangnya bulan puasa, di kampung-kampung yang dilewati aliran sungai, tak ada lagi anak-anak yang dengan hati penuh suka cita mempersiapkan alat-alat menangkap ikan. Mereka sekarang lebih suka mempersiapkan terompet dan petasan untuk menyambut tahun penghabisan. Sumber: historia.id

Dijual Buku Antik dan Langka Sastra Sejarah Dll
Dijual Majalah Cetakan Lama
Dijual Buku Pelajaran Lawas

Postingan terkait

Saya JAY SETIAWAN
tinggal di kota Bandung. Selain iseng menulis di blog, juga menjual buku-buku bekas cetakan lama. Jika sahabat tertarik untuk memiliki buku-buku yang saya tawarkan, silahkan hubungi Call SMS WA : 0821 3029 2632. Trima kasih atas kunjungan dan attensinya.

Marak Lauk atau Nyirib Budaya Sunda yang Dilupakan

Posting Komentar